Minggu, 22 Februari 2015

Kodifikasi Al-Quran

Artikel ini merupakan saduran dari karya Chamim Thohari yang diunggah di website academia.edu yang link-nya terdapat di bagian akhir halaman ini.

KODIFIKASI AL-QUR’AN

Oleh : Chamim Thohari

A. Penghimpunan dan Penulisan Mushaf

     1. Makna Penghimpunan Al-Qur’an
Penghimpunan Al-Qur’an mempunyai dua pengertian, kedua-duanya disebut dalam nash. Dalam surat al-Qiyamah: 17, Allah swt berfirman; Sesungguhnya atas tanggungankamilah penghimpunannya (di dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Kata penghimpunannya ( jam’ahu ) bermakna “ penghafalannya ”. orang-orang yang hafalal-Qur’an disebut Jumma’ul-Qur’an atau Huffadzul-Qur’an. Maknanya yang lain dari kata penghimpunannya ( jam’ahu ) ialah “ penulisannya”. Yakni penulisan seluruh al-Qur’anyang memisahkan masing-masing ayat dan surat, atau hanya mengatur susunan ayat-ayatal-Qur’an saja dan susunan tiap surat di dalam suatu shahifah tersendiri, atau mengatur susunan semua ayat dan surat di dalam beberapa shahifah yang kemudian disatukansehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum semua surat yang sebelumnya telahdisusun satu demi satu.Mengenai penghimpunan al-Qur’an dalam arti “penghafalannya” dan penyemayamannya dengan mantap di dalam hati, telah dikaruniakan Allah swt kepadaRasul-Nya lebih dahulu sebelum kepada orang lain. Beliau dikenal sebagai Sayyidul- Huffadz dan sebagai Awwalul-Jumma’, manusia pertama penghafal al-Qur’an, tak adatolok bandingnya. Hal itu memudahkan para sahabat pilihan yang hidup sezaman dengan beliau sebagai penghafal al-Qur’an, dan jumlah mereka pasti tidak sedikit. Al-Qurthubimengatakan: “ Tujuh puluh orang diantara mereka itu gugur di dalam perang Bi’ir Ma’unah, sedangkan pada masa hidup Rasul saw sebanyak itu pula yang telah gugur”. 2. Penulisan Al-Qur’an Al-Qur’an Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurutsementara ulama, dua puluh tahun, dua bulan, dan dua puluh dua hari. Ada beberapafaktor yang mendukung pembuktian otentisitas al-Qur’an:1.Masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an, adalah masyarakat yangtidak mengenal baca tulis. Karena itu satu-satunya andalan mereka adalah hafalan.Dalam hal hafalan, orang Arab – bahkan sampai kini – dikenal sangat kuat.2.Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusasteraan. Mereka bahkanmelakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.Sementara itu al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dansangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga bagi orang-orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkalisecara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacaoleh kaum muslim. Kaum muslimin, disamping mengagumi keindahan bahasa al-Qur’an, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’anadalah petunjuk kebahagiaan dunia da akhirat.3.Ayat-ayat al-Qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomantari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaanmereka. Disamping itu, ayat-ayat al-Qur’an turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebihmempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya.4.Dalam al-Qur’an, demikian pula hadis-hadis Nabi saw, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabat untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalammenyampaikan berita, lebih-lebih kalau berita itu merupakan firman Allah swt atausabda Nabi saw.Faktor-faktor diatas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah sebabnya banyak riwayat sejarah yang menginformasikan terdapat ratusansahabat Nabi saw yang menghafalkan Al-Qur’an. Bahkan dalam peperangan Yamamah,yang terjadi beberapa saat setelah wafatnya Rasulullah saw, telah gugur tidak kurang daritujuh puluh orang penghafal Al-Qur’an. Walaupun Nabi saw dan para sahabat menghafal al-Qur’an, namun guna menjaminterpeliharanya al-Qur’an beliau tidak hanya mengandalkan hafalan semata, namun jugatulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi sawmemanggil para sahabat-sahabat yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan urutan ayat dan suratnya. Ayat-ayat tersebutmereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagiansahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karenaketerbatasan alat tulis dan kemampuan, maka tidak banyak di samping kemungkinan besar tidak mencakup seluruh ayat al-Qur’an. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan olehRasulullah saw itu baru dihimpun dalam bentuk kitab pada masa pemerintahan khalifahAbu Bakar r.a. 3 Hal ini menimbulkan keyakinan bagi penulis bahwa dalam masalah kodifikasi al-Qur’an ini, yang primer adalah kemampuan hafalan para sahabat Nabi, hal ini diperkuatoleh kenyataan tradisi masyarakat Arab yang lebih mengutamakan hafalan pada masa itu,sementara tradisi menulis masih sangat rendah. Maka dari itu tulisan yang diperintahkan Nabi untuk ditulisnya ayat-ayat al-Qur’an, hanya sebagai cara untuk menjaga ayat-ayat al-Qur’an yang hilang dari hafalan para sahabat yang meninggal dunia. a. Penulisan al-Qur’an Pada Masa Rasulullah saw Rasulullah saw mempunyai beberapa orang pencatat wahyu. Diantaranya empatorang sahabat yang kemudian menjadi khalifah rasyidun (Abu Bakar, Umar, Usmandan Ali), Mu’awiyah, Za’id bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga al-Qur’an yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan tertulis. 4 Al-Hakim di dalam al-Mustadrak mengutip sebuah hadis dengan isnad menurutBukhari dan Muslim serta berasal dari Za’id bin Tsabit yang mengatakan:” Di kediaman Rasulullah saw kami dahulu menyusun ayat-ayat al-Qur’an yang tercatat pada riqa’ Kata riqa’ adalah jamak dari kata ruq’ah yang berarti lembaran kulit, lembaran daunatau kain. Kata riqa’ pada hadis tersebut memberi gambaran kepada kita betapasederhananya alat-alat tulis yang digunakan untuk mencatat wahyu ketika Rasulullahsaw masih hidup. Para sahabat Nabi saw mencatat ayat-ayat di permukaan batu, di atas pelepah kurma, pada tulang-tulang unta dan kambing yang telah kering, di atas pelanakuda dan di lembaran-lembaran kulit.Yang dimaksud menyusun ayat-ayat al-Qur’an dari riqa’ dalam hadis Za’id di atasadalah menyusun surat-surat dan ayat-ayat menurut petunjuk yang diberikan Rasul saw.Adapun mengenai ayat-ayat pada masing-masing surat dan pencantuman Basmalah pada permulaan tiap ayat serta penyusunannya, tidak diragukan lagi sesuai dengan petunjuk Rasul saw mengenai hal itu tidak ada perbedaan pendapat. Demikianlahmenurut Zarkasyi di dalam al-Burhan 6 ,berdasarkan hadis Bukhari dari Ibnu Zubair yang mengatakan; Telah kukatakan kepada Usman bahwa ayat “Orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian dan ia meninggalkan isteri-isterinya (dalam al-Baqarah:234) telah di-naskh oleh ayat lain. Kenapa engkau tetap membiarkannyatermaktub dalam mushaf padahal engkau mengetahui ayat tersebut mansukh? Usmanketika itu menjawab: Hai anak saudaraku, aku tidak mengubah sesuatu daritempatnya”. 7 Jelaslah bahwa Usman bin Affan tidak berani merubah satu ayat pun daritempatnya, kendati ia tahu benar bahwa ayat itu mansukh. 8 Sebagian besar ulama berpendapat bahwa penghimpunan ayat-ayat semasa hidupRasulullah saw telah dipertimbangkan penulisannya supaya mencakup “tujuh huruf “ yang menjadi landasan turunnya al-Qur’an. 9 Sesungguhnya setiap ayat yang dicatat disimpan dirumah Rasulullah saw,sedangkan para pencatat membawa salinannya untuk mereka sendiri. Sehinggaterjadilah saling kontrol antara naskah yang berada ditangan para pencatat wahyu itu dan shuhuf (lembaran-lembaran al-Qur’an) yang berada dirumah Rasulullah saw.Disamping itu ada kontrol lain dari para penghafal al-Qur’an di kalangan sahabat Nabisaw, baik yang buta huruf maupun yang tidak. Keadaan itulah yang menjamin al-Qur’an tetap terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagaimana yang ditegaskan Allahswt;           Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, danSesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (al-Hijr; 9). b. Penulisan al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar r.a. Al-Qur’an seluruhnya selesai ditulis pada masa Rasulullah saw masih hidup, hanyasaja ayat-ayat dan surat-suratnya masih terpisah. Ketika itu al-Qur’an masih tercecer pada berbagai lembaran kulit dan daun, tulang-tulang onta dan kambing yang kering,atau pada pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan pengumpulannyamenjadi sebuah naskah. Juga naskah yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yangterdapat di dalam rumah Rasulullah saw yang saat itu masih dalam keadaan terpisah- pisah. Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang. 10 Abu Bakar memerintahkan kodifikasi al-Qur’an seusai perang Yamamah, tahunke-12 H, yaitu perang antara kaum muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamahal-Kadzab yang mengaku dirinya sebagai nabi baru) dimana 70 penghafal al-Qur’andikalangan sahabat Nabi gugur. Melihat kenyataan itu Umar bin Khattab merasa sangatkhawatir, lalu mengusulkan supaya diambil langkah untuk usaha kodifikasi al-Qur’an.Walaupun pada mulanya Abu Bakar 11 ragu menerima usul tersebut, dengan alasan bahwa pengumpulan tersebut tidak dilakukan oleh Rasul saw. Namun pada akhirnyaUmar pun dapat meyakinkannya. Sehingga keduanya sepakat untuk membentuk suatutim yang diketuai oleh Za’id bin Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapiakhirnya ia dapat diyakinkan, apalagi beliau termasuk salah seorang yang yangditugaskan oleh Rasul saw pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu al-Qur’an.Akhirnya dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi saw, Za’id pun memulaitugasnya. Abu Bakar memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk membawanaskah tulisan ayat al-Qur’an yang mereka miliki ke masjid Nabawi untuk kemudianditeliti oleh Za’id dan timnya. 12 Bukhari meriwayatkan sebuah hadis di dalam shahihnya, bahwa Za’id bin Tsabitmenceritakan kesaksiannya sendiri bahwa hatinya merasa berat ketika Abu Bakar atasusulan Umar memerintahkannya untuk melakukan pekerjaan mulia itu, yaitu kodifikasial-Qur’an. Bahkan seandainya ia diperintahkan untuk memindahkan sebuah gunung,maka perintah itu tidaklah lebih berat daripada perintah kodifikasi al-Qur’an. Za’id berkata:” Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-ayat dan kuhimpun daricatatan-catatan pada pelepah kurma, batu-batu, dan di dalam dada para penghafal al-Qur’an. Akhir surat Taubah 13 kutemukan pada Abu Khuzaimah al-Anshari, tidak ada pada orang lain” . 14 Maksud dari pernyataan Za’id bahwa ia tidak menemukan akhir surat Taubahkecuali pada Abu Khuzaimah adalah ia tidak mendapatkan akhir surat tersebut dalam bentuk tertulis kecuali pada Abu Khuzaimah. Karena banyak sekali para sahabat yanghafal ayat tersebut. Bahkan Za’id sendiri adalah salah seorang penghafal al-Qur’an.Pernyataan itu menunjukkan sikap kehati-hatian Za’id dan menunjukkan bahwa al-Qur’an yang dihafal di dada para sahabat diperkuat kebenarannya oleh naskah-naskahtertulis.Untuk dapat diterima, setiap ayat yang diserahkan kepada panitia khusus yangtelah dibentuk di masjid Madinah tersebut, harus diperkuat oleh dua orang saksi. AbuBakar berkata kepada Za’id:” Duduklah kalian di pintu masjid Madinah, setiap orang yang datang kepada kalian membawa dua orang saksi mengenai sesuatu darikitabullah maka hendaklah kalian tulis” . 15 Perintah kodifikasi al-Qur’an oleh Abu Bakar r.a. selesai dilaksanakan dalamwaktu satu tahun. Za’id menerima perintah beberapa saat setelah berakhirnya perangYamamah dan rampung beberapa waktu menjelang wafatnya Abu Bakar. Al-Qur’anhasil kodifikasi Za’id berada ditangan Abu Bakar Sampai beliau wafat. Kemudiandipindahkan ketangan Umar sampai khalifah kedua itu juga wafat. Setelah itu mushaf disimpan Hafshah binti Umar r.a.Mushaf Abu Bakar, seluruh isinya dan kebenaran kemutawatirannya didukung bulat oleh seluruh umat Islam. Banyak ulama berpendapat bahwa cara penulisannyamenggunakan “ tujuh huruf ” sebagaimana yang berlaku pada masa turunnya al-Qur’an. Dilihat dari segi itu, maka mushaf Abu Bakar serupa dengan ayat-ayat pertamayang dihimpun pada masa Rasulullah saw masih hidup. c. Penulisan al-Qur’an Pada Masa Usman r.a. Bukhari dalam shahihnya mengetengahkan sebuah hadis dengan isnad-nya IbnuSyihab, bahwa Anas bin Malik memberitahukan kepadanya (Ibnu Syihab): Ketika pasukan Syam bersama pasukan Iraq berperang membela dakwah agama Islam diArmenia dam Azerbaidzan, Hudzaifah bin Yaman datang kepada khalifah Usman. Iamengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di kalanganmuslimin. Kepada Usman, Hudzaifah berkata;” Ya Amirul mukminin, persatukanlah segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitabullah sebagaimana yang terjadi di kalangann Yahudi dan Nasrani.” Khalifah Usman kemudian mengirimsepucuk surat kepada Hafshah, berisi permintaan agar Hafshah mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf akandikembalikan lagi. Hafshah lalu menirimkan mushaf tersebut kepada Usman.Kemudian Usman memerintahkan Za’id bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ashdan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam supaya bekerja bersama-sama menyalinmushaf menjadi beberapa naskah. Kepada tiga orang Quraisy di antara mereka ituUsman berpesan:“ Kalau terjadi perbedaan antara kalian dan Za’id bin Tsabit mengenai sesuatu tentang al-Qur’an, maka tulislah menurut dialek Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.” Lalu mereka bekerja melaksanakan tugasitu hingga berhasil menyalin mushaf menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf aslidikembalikan kepada Hafshah, sedangkan beberapa naskah salinannya dikirim ke berbagai kawasan Islam. Bersamaan dengan itu Usman memerintahkan supaya semuacatatan tentang ayat-ayat al-Qur’an, atau mushaf-mushaf lain yang bertebarandikalangan kaum muslimin, segera dibakar. 16 Riwayat hadis shahih tersebut memberikan kepada kita tentang adanya limamasalah penting; Pertama, perbedaan cara membaca al-Qur’an itulah yang sesungguhnya menjadi pendorong bagi Usman untuk emerintahkan penyalinan mushaf Hafshah menjadi beberapa naskah. Kedua, komisi yang bertugas menyalin mushaf terdiri dari empat orang. Jika kitasisihkan Za’id bin Tsabit karena ia sebagai orang dari kaum Anshar di madinah,dapatlah kita ketahui bahwa ketiga orang yang lainnya berasal dari Quraisy Mekkah.Keempat orang itu semuanya adalah para sahabat Nabi yang terkemuka dan terpercaya. Ketiga, komisi empat orang itu menggunakan mushaf Hafshah sebahai dasar salinan, yang pada hakekatnya komisi tersebut bersandar pada mushaf asli hasilkodifikasi atas perintah Khalifah Abu Bakar.Keempat, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dialek Quraisy, dialek yangdiutamakan bagi penulisan nash al-Qur’an bila timbul perbedaan antara tiga orangQuraisy (dalam komisi tersebut) dan Za’id bin Tsabit. Kelima, khalifah Usman mengirimkan salinan mushaf hasil kerja komisi empatorang ke daearh-daerah. Selain itu, untuk meniadakan perbedaan dan pertengkaranmengenai cara membaca al-Qur’an, ia perintahkan kaum muslimin supaya membakar naskah-naskah mushaf yang lain dan semua catatan al-Qur’an yang dilakukan olehmasing-masing orang dengan caranya sendiri-sendiri untuk keperluan pribadi.Perintah pembakaran mushaf-mushaf selain mushaf Usman menimbulkan protes dikalangan dua orang sahabat Nabi terkemuka, yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Ubay binKa’ab. Penulis berasumsi bahwa penolakan tersebut di dasarkan pada dua faktor: (1)mushaf yang dimiliki oleh keduaa sahabat Nabu ini tidak berbeda dari segi ayat denganmushaf Usman, tetapi mushaf mereka berdua terdapat penjelasan-penjelasan atauketerangan-keterangan semacam tafsir dari ayat-ayat al-Qur’an yang mereka tulis. Halini berbeda dengan mushaf Usman yang murni berisi ayat-ayat al-Qur’an saja. (2)mereka adalah dua sahabat ternama dari Nabi saw, mereka adalah salah satu dari empatorang sahabat Nabi yang namanya disebut oleh Nabi saw dalam hadis sebagai salahseorang yang perlu ditimba ilmu pengetahuannya mengenai al-Qur’an. 17 Sementaradalam proses kodifikasi al-Quran masa Usman, mereka tidak dilibatkan, tentu saja halitu menyebabkan kodifikasi mushaf Usman tidak aspiratif, sehingga menimbulkan protes beberapa sahabat. d. Mushaf Usman dalam Taraf Penyempurnaan Salinan mushaf Usman tidak ber- syakl dan tidak bertitik. Cara penulisan yangdemikian itu membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di berbagaikota dan daerah yang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri sesuai dengan tabiatdan adat kebiasaan masing-masing. Akhirnya mulai dipikirkan penciptaan tanda- tandatertentu yang dapat membantu bacaan dengan baik dan benar. Abul Aswad Ad-Duali dikenal karena dialah orang yang pertama kali meletakkankaidah tata bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib. Banyak orang berpendapat bahwa penemuan akan cara penulisan al-Qur’an dengan huruf-huruf bertitik merupakankelanjutan dari kegiatan Abul-Aswad Ad-Duali. Terlalu banyak memang cerita yangmenunjukkan betapa besar gairah Abul Aswad kepada bahasa al-Qur’an. Konon ia pernah mendengar orang membaca firman Allah surat al-Taubah ayat 3:” Innallahabarii’un minal musyrikina wa rasuluhu. ” Bahwa Allah dan Rasul-Nya memutuskanhubungan dengan kaum musyrikin. Orang yang lain lagi mambaca:” Annallahabarii’un minal musyrikina wa rasulihi.” Bahwa Allah memutuskan hubungan darikaum musyrikin dan dari Rasul-Nya. Karena mendengar bacaan itulah akhirnya hatiAbul Aswad tergugah untuk melakukan pekerjaan ini, yakni memberi tanda bacaan pada al-Qur’an agar kesalahan membaca tidak terulang lagi dikalangan kaum muslimin.Ia memulai pekerjaan tersebut pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. NamunSubhi As-Shalih berasumsi bahwa pekerjaan itu pastinya dilakukan oleh beberapaorang dan kesempurnaannya tidak dapat dicapai selama satu generasi, malainkan beberapa generasi. Abul Aswad Ad-Duali hanya merupakan sebuah mata rantai pertama dalam proses perbaikan cara penulisan al-Qur’an. 18 Dalam perkembangan berikutnya semakun besar perhatian orang kepada usahamemudahkan penulisan al-Qur’an. Upaya ke arah itu mengambil berbagai macam bentuk. Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi dikenal sebagai orang pertama menyusuntitik-titik kemudian di bentuk menjadi gambar untuk membuat tanda baca hamzah,tasydid, raum dan isymam. Ketika Abu Hatim As-Sajastani menulis buku tentang tanda baca titik dan syakl untuk al-Qur’an, cara penulisan mushaf sudah mendekatikesempurnaan, sehingga pada akhir abad ketiga Hijriyah penulisan mushaf telahmencapi puncak keindahannya.Setelah banyak orang menandai mushafnya dengan berbagai tanda untuk memisahkan ayat yang sati dari ayat yang lain, lalu mereka semakin beranimencantumkan nama-nama surat pada tiap awal surat, sehingga sulit dicegah upayaorang untuk memperindah dan memperelok bentuk susunan mushaf. Mereka lalu sibuk menghias mushaf, membagi ayat-ayat menjadi beberapa bagian (juz) dan kelompok (hizb). Untuk membenarkan langkah tersebut mereka mencari-cari dalil dari berbagairiwayat masa lalu. Zarkasyi mengatakan:” Mengenai pengelompokan dan pembagianayat-ayat al-Qur’an sebelum itu memang sudah dilakukan orang dan sudah dikenal, yaitu dibagi menjadi tiga puluh bagian (juz).” Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, IbnuMajah, masing-masing mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Aus binHudzaifah, bahwa Rasulullah saw semasa hidupnya pernah bertanya kepada parasahabat:” Bagaimanakah cara kalian mengelompokkan ayat-ayat al-Qur’an?” Merekamenjawab:” Tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, tiga belas dan kelompok mufashal dari Qaaf hingga tamat .” 19 Pada masa berikutnya terjadi peristiwa yang menggembirakan, disamping artinyayang memang sangat besar, yaitu di Kairo muncul al-qur’an dalam bentuk yang mungil,indah dan halus. Mushaf tersebut dicetak dan diterbitkan tahun 1342 H/1923 Mdibawah pengawasan syaikhul-Azhar, dan diakui serta disahkan oleh sebuah panitiakhusus yang dibentuk untuk itu oleh Raja Fuad I. mushaf itu ditulis dan disusun sesuaidengan riwayat Hafsah mengenai qira’at ‘Ashim. Seluruh dunia Islam menyambut danmenerima baik mushaf tersebut, sehingga tiap tahun dicetak berjuta-juta eksemplar banyaknya, dan merupakan mushaf satu-satunya yang beredar dikalangan umat Islam,atau hampir merupakan satu-satunya yang beredar. Karena semua ulama di berbagai pelosok dunia dengan bulat mengakui kecermatan yang sempurna, baik dekorasimaupun tulisannya.Pada masa sekarang ini kita telah dengan mudah mendapatkan mushaf-mushaf al-Qur’an yang tercetak dengan berbagai hiasan yang indah. Bahkan tidak hanya itu, kitatelah menjumpai kodifikasi al-Qur’an secara lebih canggih lagi, yakni dengan programdigital dan record, dan program yang memanfaatkan teknologi tersebut lebihmemudahkan kita dalam mencari ayat-ayat al-Qur’an yang kita butuhkan dan dapatdibawa kemanapun umat Islam berada, serta dapat dibaca, dipelajari dan ditelaah tanpaharus repot membawa mushaf yang tebal itu kemana-mana. e. Penamaan Al-Qur’an Allah swt memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali bahasayang biasa digunakan masyarakat Arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itumengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata. Di antaranya beberapa namaitu yang paling terkenal ialah al-Kitab dan al-Qur’an. Para ulama berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat bahwa penulisan lafadz tersebut dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an). Pendapatlain mengatakan penulisannya tanpa dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Quran).Termasuk para ulama yang berpendapat demikian adalah:1. As-Syafi’i mengatakan, lafadz al-Qur’an yang terkenal itu bukan musytaq (bukan pecahan dari akar kata apapun) dan bukan pula berhamzah (tanpa tambahan huruf hamzah di tengahnya). Menurutnya lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akar kata qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yangdibaca dapat dinamai al-Qur’an. Lafadz tersebut memang nama khusus bagi al-Qur’an, sama halnya dengan Taurat dan Injil. 20 2. Al-Farra berpendapat, lafadz al-Qur’an adalah pecahan dari kata qarain, yang berartikaitan, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama lain saling berkait. Karena itu jelaslah bahwa huruf nun pada akhir lafadz al-Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan. 21 3. Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan, lafadz al-Qur’an adalah pecahan darikata qarn, artinya gabungan atau kaitan, karena surat-surat dan ayat-ayat saling bergabung dan saling berkaitan. 22 4. Az-Zajjaj berpendapat, lafadz al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan pola kata fu’lan. Lafadz tersebut pecahan dari akar kata qar’un yangartinya jam’un yang dalam bahasa indonesia maknanya “kumpul”. Alasannya al-Qur’an mengumpulkan atau menghimpun intisari kitab-kitab suci terdahulu. 5. Al-Lihyani berpendapat, lafadz al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahan dari kata qa-ra-a yang bermakna talaa (membaca). Lafadz al-Qur’an digunakan untuk manamai sesuatuyang dibaca, yakni objek, dalam bentuk mashdar. 24 Pendapat terakhir ini lebih kuat dan lebih tepat karena dalam bahasa Arab lafadzal-Qur’an adalah bentuk mashdar yang maknanya sinonim dengan qira’ah, yakni bacaan. Sebagai contoh firman Allah swt:        “ Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamiTelah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu ” (Al-Qiyamah:17-18). Apapun nama al-Qur ’ an, yang jelas dan pasti barasal dari kalamilahi yang diturunkan kepada Nabi saw dan tertulis berdasarkansumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya, danyang dibaca umat Islam dalam rangka ibadah. Penamaan al-Qur ’ anyang demikian itu telah disepakati oleh para ulama ahli kalam, ahlifiqih, dan ahli bahasaArab. 25 B. Pandangan Para Orientalis Terhadap Mushaf Usmani Secara umum, sasaran kajian orientalis terhadap kemunculan mushaf Usmani tertuju padatiga fase kesejarahan. Pertama, koleksi dan susunan teks dari lisan sampai tulisan. Kedua, perbedaan tata cara baca dan beberapa kodeks sahabat. Ketiga, proses pemantapan teks dancara baca menjadi kanonik. a. Koleksi Dan Susunan Teks Menurut para orientalis, pada saat Nabi saw wafat al-Qur’an sama sekali belumterkodifikasi. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya teks-teks al-Qur’an yang masih berceceran di tangan para sahabat, baik berupa catatan-catatan pribadi maupun berupahafalan yang mereka miliki. Selain hal tersebut, adanya kepedulian para sahabat terhadap pentingnya pengumpulan dan penyusunan al-Qur’an yang baru terjadi setelah terjadinya peristiwa peperangan Yamamah pada 12 hijriah yang banyak menewaskan para Huffadz juga menjadi salah satu fakta sejarah yang memperkuat asumsi mereka. 26 Dalam mengomentari pendapat para sarjana muslim yang mengaitkan motif pengumpulan al-Qur’an dengan peristiwa Yamamah, dengan pendekatan sejarah mereka berusaha membuktikan dan memberikan fakta bahwa pengaitan dua hal tersebut sulitditerima dan dipertahankan. Banyaknya versi riwayat yang menginformasikan jumlahhuffadz yang gugur dalam peperangan ini, menurut mereka hal ini megindikasikan bahwadalam periwayatan tersebut terdapat sesuatu yang musykil. Dan untuk memecahkan permasalahan ini diperlukan adanya suatu pendekatan sejarah untuk melacak kevaliditan berita tersebut. Para orientalis setelah melakukan pengkajian dan penelitan terhadapsumber-sumber sejarah yang terkait dengan peristiwa Yamamah ini, ternyata hanyaditemukan sejumlah kecil dari nama-nama yang gugur dalam peperangan Yamamah, yangmungkin banyak menghafal bagian al-Qur’an.L. Caetani, dalam hal ini mengatakan bahwa jumlah yang tewas pada waktu peperangan Yamamah ini hampir seluruhnya orang-orang yang baru masuk Islam.Sementara Schawally menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar nama-nama penghafal al-Qur’an yang gugur, ia hanya menemukan dua orang yang bisa dikatakanmemiliki pengetahuan al-Qur’an yang meyakinkan, yaitu Abdullah bin Hafs bin Ghanimdan Salim bin Ma’qil. Selain adanya keganjilan di atas, yang ditemukan oleh para orientalis terhadapanggapan yang diyakini oleh para sarjana muslim selama ini, adanya kenyataan bahwaotoritas mushaf koleksi abu bakar yang tidak diakui secara ofisial. Hal tersebut berdasarkan pada periwayatan yang menyebutkan bahwa dimasa khalifah Abu Bakar beliau pernahmemerintahkan Zaid untuk mengumpulkan al-Qur’an. Karakter mushaf yang dikumpulkanZaid pada esensinya merupakan mushaf yang resmi karena dilakukan atas perintah danotoritas khalifah Abu Bakar. Suatu kumpulan “resmi” al-Qur’an semacam itu tentunya bisadiduga memiliki otoritas dan pengaruh luas, sebagaimana dinisbatkan kepadanya. Tetapi, bukti semacam itu tidak ditemukan dalam kenyataan sejarah. Kumpulan-kumpulan ataumushaf-mushaf al-Qur’an lainya, seperti mushaf ibn mas’ud, ubay bin kaab atau abu musaal-Asyari, justru terlihat lebih otoritatif dan memiliki pengaruh luas diberbagai wilayahkekhalifahan Islam ketika itu, ketimbang mushaf yang dikumpulkan zaid. Masih dalam alur yang sama, pertikaian yang disebabkan oleh perbedaan bacaan dalam mushaf-mushaf otoritatif dan berpengaruh pada masa Usman barangkali tidak akan timbul jika pada waktuitu telah ada satu mushaf resmi di tangan khalifah yang bisa dijadikan rujukan. 28 Dengan demikian karakter resmi mushaf al-Qur’an yang dikumpulkan zaid pada masa pemerintahan Abu Bakar terlihat sangat meragukan. Bahkan perjalanan historis selanjutnyamushaf tersebut, dari tangan Umar berpindah ke Hafshah sebagai warisan lebihmenunjukkan karakter personalnya.Oleh sebab itu, dengan adanya berbagai versi mushaf yang terdapat ditengah-tengahkaum muslimin pada waktu itu menimbulkan suatu kenyataan yang tak terbantahkan yaitumasalah adanya perbedaan bacaan yang terdapat dalam keempat mushaf tersebut.Dari hal-hal yang tersebut di atas, mereka meyakini bahwa al-Qur’an pada dasarnyamengalami nasib yang sama dengan kitab-kitab suci sebelumnya yakni ia tidak terbebasdari adanya penambahan atau bahkan pengurangan dari para generasi awal Islam sesuaidengan selera mereka masing-masing yang tergambar dari banyaknya versi al-Qur’an yangada pada mereka yang mana antara satu sama lain banyak terdapat perbedaan. Perbedaan teks dan susunan inilah yang mengindikasikan bahwa al-Qur’an sejak wafatnya Nabi sawtelah mengalami reduksi dan pabrikasi yang nilai-nilai otentisitasnya tidak bisadipertanggungjawabkan. 29 b. Perbedaan Qiraat Perbedaan antar mushaf pribadi yang ditemukan dalam kesejarahan teks al-Qur’anmengindikasikan bahwa teks al-Qur’an semenjak masa-masa awal sudah mendapat“campur tangan” pemilik mushaf pibadi. Dengan kata lain, terlepas dari motif-motif yangada, peran generasi Islam awal cukup kentara dalam menyusun redaksi final al-Qur’andisertai dengan adanya penambahan-penambahan sesuai dengan selera dan kebutuhanmereka masing-masing.Mushaf Usmani seperti yang kita ketahui, dalam segi tulisan naskah kodifikasinyamasih” telanjang”. Ia belum dilengkapi dengan tanda-tanda akhir surat dan begitu jugatanda-tanda khusus untuk setiap huruf yang bisa membedakan bunyinya dengan huruf-huruf yang lain. Di samping itu, berbeda dengan mushaf-mushaf yang lain, jenis tulisanmushaf Usmani tidak memiliki suatu informasi yang pasti terkait dengan masalah gaya penulisan tersebut. Jika potongan-potongan mushaf yang lain menggunakan jenis tulisan khufi – berdasarkan pada informasi sejarah, yang mengatakan bahwa keseluruhan fragmenmanuskrip tersebut diprediksikan baru ditulis setelah abad ke 3 hijriah – maka ia (mushaf Usmani) menurut Jeffery informasinya tidak teridentifikasi sama sekali.Dengan demikian, dengan adanya berbagai macam kemusykilan yang terjadi dalamsejarah kompilasi ini khususnya dalam kasus perbedaan qira’at ini, mendorong para peneliti barat untuk mempertanyakan riwayat-riwayat yang menginformasikan koleksi-koleksi pribadi para sahabat pra Mushaf Usmani.Paling tidak dalam mengomentari dan menanggapi semua kemusykilan yang terjadidalam hal ini, ada dua nama yang menonjol yaitu, John Burton dan John Wansbrough.John Burton menegaskan bahwa seluruh riwayat yang menceritakan kodeks para sahabatdan kodeks yang beredar di beberapa kota metropolitan muslim saat itu, sebenarnya telah dipalsukan oleh para fuqaha dan filolog muslim kemudian. Hal ini menurut Burton,dimaksudkan untuk dijadikan sebagai setting kisah kodifikasi mushaf Usman yang padagilirannya dijadikan penutup kenyataan bahwa Muhammad sendiri telah mengumpulkandan mengecek edisi final al-Qur’an. 30 Di sisi lain, Wansbrough mencurigai peran aktif generasi muslim awal dalam penyusunan redaksi final al-Qur’an. Menurutnya, generasi awal Islam tidak hanyamemformulasikan wahyu yang diajarkan Muhammad, akan tetapi memberikan tambahan disana- sini untuk mengantisipasi masuknya tradisi yahudi di dalmnya. Peran aktif generasiawal muslim ini terlihat jelas dalam berbagai versi bacaan al-Qur’an yang berbeda-beda.Selain itu ia juga menambahkan, berdasarkan teori Joseph Schacht yang mengatakan bahwa hukum Islam tidak dideduksi dari al-Qur’an, bahwa redaksi final al-Qur’an baru disusun pada permulaan abad ketiga hijrah. Hal ini ditopang data histories bahwaterminology baku seperti rujukan kepada mushaf Usmani sebagai mushaf al-imam barudimulai pada abad ketiga hijriah. 31 c. Proses Pemantapan Teks Dan Qiraat Menjadi Kanonik Para orientalis dengan metode pendekatan penelitian ala mereka, di sampingmengkritik dua hal yang terkait dengan mushaf Usmani di atas, tetapi lebih jauh merekamengkritik proses pemantapan teks dan qiraat menuju suatu teks al-Qur’an yang utuh yangdipegangi dan dianggap sakral oleh kaum muslim atau dalam istilah lain menuju suatu tekskanonik yang nantinya akan dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan di dunai dandi akhirat.Wansbrough dan para orientalis lain setelah mereka mengkaji mushaf Usmani dengan pendekatan dan metodologi yang mereka gunakan, sebagai tindak lanjut dan konsekuensidari dua kesimpulan mereka di atas, mereka meyakini bahwa kanonisasi dan stabilisasi teksal-Qur’an berjalan bersamaan dengan formasi komunitas muslim. Menurut mereka teks al-Qur’an yang final tidak akan dibutuhkan sebelum kekuasaan politik terkontrol secara sepenuhnya. Sehingga pada penghujung abad kedua, terjadi semacam upaya pengumpulan“tradisi oral” dan liturgis yang pada gilirannya pada abad ketiga hijriah muncul mushaf baku al-Qur’an. 32 Berdasarkan pemaparan Wansbrogh di atas, pada dasarnya ia ingin menyampaikan bahwa al-Qur’an (mushaf Usmani) pada dasarnya merupakan suatu kodeks yang saratdengan kepentingan politik khalifah Usman, yang mana dalam proses penghimpunannyasetelah membuang bagian-bagian yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka darimushaf-mushaf yang berkembang sebelumnya, mushaf-mushaf tersebut dihancurkan.Setelah penghancuran mushaf-mushaf tersebut, ditetapkanlah Mushaf Usmani menjadimushaf tunggal (mushaf tertutup) yang akan dijadikan pegangan dikalangan umat Islam.C. Kekeliruan Para Orientalis Terhadap Al-Quran (Mushaf Usmani) al-Qur’an sebagai kalamullah yang ditransmisikan secara lisan, dalam arti ucapan dansebutan. Kesalahan dalam memahami pada aspek inilah sehingga melahirkan suatu anggapanyang menyamakan al-Qur’an dengan bibel dikalangan orientalis. Oleh sebab itu, konsekuensilogis dari frame work berfikir seperti ini akan menimbulkan suatu konklusi yang menganggap bahwa al-Qur’an adalah suatu teks yang profan yang sama dengan teks-teks lain yang bisadirevisi dan diotak-atik sesuai dengan kehendak reader.Menurut Syamsuddin Arif, ada beberapa kekeliruan yang menyebabkan konklusi dari para orientalis dalam memamahami dan memandang al-Qur’an (mushaf Usmani) berbedadengan konklusi yang dihasilkan oleh para sarjana muslim. Kekeliruan tersebut adalah; Pertama, pada prinsipnya al-Qur’an bukanlah tulisan (rasm atau writing) tetapi ia adalah bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan atau sebutan. al-Qur’an dalam artian bacaanini dimaknakan dalam setiap transimisinya baik itu dalam proses pewahyuannya maupun pengajaran atau penyampaiannya. 33 Dari itu seluruh kekeliruan dan kengawuran para orientalis bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya berangkat dari sebuah asumsi keliru yang menganggap al-Qur’an sebagai “dokumen tertulis” atau teks, bukan sebagai “hafalanyang dibaca” atau recitio. Dengan asumsi keliru ini, mereka mau menerapkan metodologifilologi yang lazim digunakanan dalam memamahi bible untuk memahami al-Qur’an.Akibatnya mereka menganggap bahwa al-Qur’an adalah produk sejarah, hasil interaksi orangarab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka. 34 Kedua, kekeliruan mereka dalam memahami fakta sejarah jam’u (pengumpulan dan penghimpunan) al-Qur’an seperti yang telah dipaparkan diatas. Lebih lanjut merekamenganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalaah kisah fiktif dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke 9 M. 35 Ketiga, para orientalis salah paham tentang rasm dan qira’at. Sebagaimana diketahui,tulisan arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam al-Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkankemudian. Meskipun demikian rasm Usmani sama sekali tidak menimbulkan masalah,mengingat kaum muslimin pada saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengancara menghafal dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atautulisan. 36 Dari pemahaman mereka yang keliru terhadap permasalahan ini, sehingga mereka (paraorientalis) menyimpulkan bahwa teks gundul inilah sumber variant readings – sebagaimanaterjadi dalam kasus bible- yang pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa al-Qur’an padadasarnya sama dengan bible. Maka dari itu untuk membuktikan otentisitasnya, kita juga harusmenggunakan metodologi yang sama seperti metodologi yang diterapkan pada bible. D. Beberapa Kesimpulan Apabila dibandingkan dengan mushaf yang disusun oleh tim yang dibentuk oleh AbuBakar, sebenarnya pada mushaf yang dihasilkan oleh tim yang dibentuk Usman terdapat beberapa perbedaan baik dari segi proses pembentukannya maupun dari segi keotentikandialeknya. Beberapa hal tersebut diantaranya:1. Proses pembentukan mushaf Abu Bakar tampak mutawatir dan disepakati oleh seluruhsahabat Nabi saw, karena mushaf tersebut dikumpulkan dari mereka dan melibatkan banyak penghafal al-Qur’an. Sementara mushaf Usman hanya dibuat oleh empat orangsaja. Selain itu, perintah Usman untuk membakar mushaf-mushaf (selain dari mushaf yangia susun) juga disertai dengan penentangan beberapa sahabat Nabi yang memiliki mushaf sendiri, di antaranya adalah Abdullah bin Mas’ud, meskipun pada akhirnya beliau setujudengan kebijakan Usman tersebut.2. Mushaf yang disusun Abu Bakar adalah mushaf yang masih berbentuk “ tujuh huruf “,sehingga umat Islam bebas menyesuaikan bacaannya dengan dialeknya masing-masing.Sementara mushaf Usman hanya menggunakan dialek Quraisy.3. Mushaf Usman mengalami penyempurnaan pada masa setelah Usman, terutama pada masaAbul Aswad Ad-Duali.kemudian pada masa berikutnya kodifikasi al-Qur’an mengalami perkembangan dan kemajuan pesat, hingga al-Qur’an mengalami kesempurnaan baik bentuk tulisan maupun sistem pengkodifikasiannya.4. kesalahan Orientalis dalam mengkaji al-Qur’an adalah mereka beranggapan bahwa al-Qur’an adalah tulisan, bukan bacaan atau hafalan. Kesalahan ini mengakibatkan kajianyang mereka lakukan atas teks-teks al-Qur’an dengan metode yang mereka gunakanmengalami kesalahan ilmiah secara fatal dalam memahami al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar